May 23, 2011

Rumah dalam Perspektif Teori Struktural Levi Strauss

Oleh: Agus Budi Wibowo

Rumah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang tidak terlepas dari adanya kategori-kategori, ide-ide, dan aturan-aturan mengenai tempat tinggal yang dianggap baik atau menguntungkan masyarakat pendukungnya. Dalam berbagai masyarakat terdapat berbagai bentuk dan variasi yang menyangkut bagaimana para penghuni menata tempat tinggal yang bersumber dari kebudayaannya. Begitu pula dalam hal pembagian sebuah rumah ke dalam beberapa ruangan pada umumnya terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan, tahap kehidupan, maupun dengan kosmologi suatu masyarakat. Pengaturan bentuk dan tata ruang dalam rumah tersebut di antaranya dapat dilihat berdasarkan pembagian rumah ke dalam ruangan depan belakang, pembedaan hubungan antar keluarga, pembagian ruangan publik dan ruang privat, pembedaan berdasarkan jenis kelamin, penting tidaknya suatu ruangan dibandingkan dengan ruangan lain (Lely, 1995 : 10) atau juga berdasarkan perbedaan status marital seseorang yang belum menikah atau sudah menikah (Waterson, dalam Fox, 1993 : 221).

Kategori-kategori dalam pengaturan yang membedakan dan memisahkan makna ruang-ruang dalam bangunan arsitektur tersebut diciptakan agar para penghuninya dapat melangsungkan kehidupan dengan baik dan sejahtera, di antaranya seperti aktivitas-aktivitas yang menyangkut praktek-praktek sosial dan ritual kelompok sosial yang bertempat di rumah tersebut. Praktek-praktek sosial atau ritual tersebut pada kenyataannya membentuk suatu struktur yang teratur yuang dibangun berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh para penghuninya.Keteraturan ini dapat dipahami sebagai suatu representasi dari keteraturan kosmologis dari masyarakat yang bersangkutan dan dapat dijadikan sebagai pusat pelaksanaan kehidupan sosial bagi para penghuninya.
Aturan-aturan yang mendasari penggunaan ruang di dalam praktek ritual atau upacara tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Menurut Lely (1995: 14), aturan-aturan tersebut keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari suatu sistem yang lebih luas, yaitu sistem sosial budaya masyarakat tersebut. Semua aturan itu berkenaan dengan dasar pemikiran yang paling hakiki tentang kehidupan yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang berada pada tataran nirsadar, namun sangat menentukan segala aktivitas dari masyarakat yang bersangkutan.
Karena itu, agar bisa diperoleh pemahaman dalam mengkaji struktur di balik bentuk dan tata ruang rumoh Aceh dan kaitannya dengan struktur pemikiran masyarakat Aceh digunakan pendekatan strukturalisme. Melalui pendekatan ini akan diperoleh struktur dibalik pemikiran orang Aceh. Struktur ini kemudian dapat digunakan untuk memahami dan mengungkapkan makna-makna yang ada dibalik pola-pola tindakan yang ditemui pada masyarakat Aceh.
Menurut Levi-Straus (1973), struktur ini modelnya tetap dan universal, sedangkan gejala yang dapat diamati hanyalah merupakan transformasi dari struktur. Struktur tersebut muncul secara tidak disadari (unconscious) dan menempatkan dirinya dalam kesadaran tanpa diketahui. Pengertian struktur yang berasal dari Levi-Straus ini, diterapkan secara rinci oleh J. Power (Laksono, 1985 : 7). Ia melihat struktur sebagai elaborasi suatu proses mental dalam konteks komunikasi dan berhubungan dengan ciri dasar sistem semiotik. Ia menunjukkan beberapa prinsip menghubungkan posisi-posisi dari setiap unsur untuk membuat suatu sistem hubungan yang disebut struktur, dan yang memberi isi kepada wadah struktur. Prinsip-prinsip itu dinamakan sebagai prinsip menstruktur.
Salah satu dalam prinsip menstruktur ini seperti yang dikemukakan Power ini adalah prinsip menstruktur umum turunan yang antara lain di dalamnya terdapat pemosisian supra, yaitu bahwa posisi relatif dari sejumlah unsur ada pada tingkat yang tidak setara jika dihubungkan dengan sejumlah unsur yang lain. Adanya prinsip pemosisian supra ini menunjukkan bahwa ada suatu konsepsi dalam pemikiran manusia tentang susunan atau stratifikasi. Stratifikasi inilah yang merupakan elemen-elemen struktur (Priyadi, 1999 : 39).
Prinsip hubungan pemosisian supra ini berasal dari binary opposition yang merupakan oposisi paling elementer. Hal ini bisa kita lihat dari realitas sehari-hari, seperti siang dan malam, pria dan wanita dan sebagainya. Selanjudnya menurut Levi Strauss (1963), konsep dasar binary opposition ini dapat berkembang menjadi tiga posisi, posisi yang ketiga ini merupakan mediator antara kedua posisi yang berpasangan tadi. Posisi ketiga ini memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan (Priyadi, 1999 : 40).
Metode analisis struktural dari Levi-Strauss ini diterapkan terhadap fenomena budaya. Dikatakannya bahwa kebudayaan merupakan produk dari aktivitas dari pikiran manusia, dan pikiran manusia itu dimana-mana satu dan sama kapasitasnya (Levi-Strauss, 1973 : 19). Apabila di dalam kebudayaan terkandung struktur, maka dapat diduga bahwa kerja strukturalisme adalah menganalisis obyek-obyek tersebut yang menyangkut antar hubungan elemen-elemennya (Cows, 1970 :199; Budiman, 1994 : 18).
Demikian halnya dengan struktur orientasi arah dan letak, bentuk dan tata ruang di dalam rumoh Aceh. Berdasarkan pendekatan ini, maka ruang-ruang di dalam rumoh Aceh dan segala aktivitas penghuni di dalam rumah tersebut mempunyai struktur yang terbentuk dari suatu sistem relasi tertentu yang tetap dan bersifat nirsadar. Struktur yang bersifat nirsadar tersebut tercermin pada arah letak, bentuk dan tata ruang rumoh Aceh tersebut sebagai produk dari aktivitas dari pikiran masyarakat pendukungnya, yaitu orang Aceh.
Struktur ini akan diperoleh melalui oposisi-oposisi biner atau berpasangan yang membentuk suatu sistem hubungan di antara satu elemen dengan elemen lainnya. Karena itu, ruang di dalam rumoh Aceh akan ditanggapi sebagai elemen yang berdiri sendiri dan hanya akan mempunyai makna apabila dikaitkan dengan elemen lain sehingga membentuk sebuah “teks” yang berisi pesan-pesan tertentu atau ide-ide tertentu yang bersifat sosial maupun individual. Dalam hal ini elemen lain yang dimaksud adalah ruang-ruang lainnya yang ada di dalam rumoh Aceh dan kategori-kategori sosial yang mengikutinya, sehingga dapat membentuk sebuah teks yang dapat dibaca dan bermakna. Seperti yang dikatakan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra (2006: 66) bahwa berbagai aktivitas sosial manusia beserta hasilnya merupakan tanda atau dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Melalui prosedur yang sesuai dengan pendekatan strukturalisme dari Levi-Strauss inilah struktur tersebut dapat dipelajari dan dipahami. Dengan demikian dapat diharapkan dapat ditemukan struktur dibalik orientasi arah letak, bentuk, dan tata ruang rumoh Aceh dan kaitannya dengan model struktur pemikiran orang Aceh.

No comments: