March 31, 2009

Aspek Geografis Nanggroe Aceh Darussalam

Oleh: Agus Budi Wibowo

Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah daerah istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Secara geografis dari arah barat laut ke tenggara terletak pada posisi 2º-6° Lintang Utara dan 95º-98° Bujur Timur. Adapun yang menjadi batas wilayah provinsi ini adalah sebelah utara dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala sebelah selatan dengan Samudera Indonesia sebelah barat dengan Samudera Indonesia dan sebelah timur dengan Selat Malaka dan Propinsi Sumatera Utara. Mengenai Aceh, G.P. Tolson (1880) pernah mengatakan bahwa,
”Aceh adalah ”nama yang sesungguhnya dari bagian paling utara Pulau Sumatera yang membentang dari Tamiang di Timur ke Trumon di bagian pesisir Barat, meskipun ia sering disebut oleh orang-orang Eropah dengan nama Acheen”.
Selain itu, G.P. Tolson (Hadi, 2006: 18) juga menyebut Aceh dengan menulis, ”Masyarakat yang mendiami wilayah yang berbatasan dengan laut sampai ke pedalaman yang berbukit ...” sedangkan Hurgronje (1985: 1) pernah mengatakan tentang wilayah Aceh sebagai berikut,
”Batas-batas kerajaan Aceh di Sumatera menurut orang Aceh sendiri terletak sampai di Teumieng (Tamiang) di pantai timur dan lebih jauh ke selatan di pantai barat, sampai ke Baros atau di suatu tempat dimana mereka meletakkan batas antara daerah raja-raja Minangkabau dan daerah-daerah sultan-sultan Aceh. Namun mereka menganggap ”Aceh” yang sebenarnya adalah yang biasanya dinamakan ”Aceh Besar”, adalah suatu yang jauh lebih kecil”.
Berdasarkan posisi geografisnya ini, jelas tampak bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di pintu gerbang masuk wilayah Indonesia bagian barat. Dengan demikian, sangat strategis, baik dari segi kemiliteran maupun dari segi perekonomian. Semua kapal yang akan menuju Samudra Hindia akan melalui Selat Malaka. Oleh karena itu, tidak mengherankan Aceh menjadi daerah terbuka dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan. Selain Aceh sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di Semenanjung Malaya dan India (Van Leur, 1983; Abdullah, 2007b: 128). Mengenai hal tersebut, Sir James Lancaster (Sufi dan Wibowo, 2004: 2) pernah menulis,
“... in the roade of Achem, some two miles of the city; where we found eighteen saile of shippes of divers nations, some goserats, some of Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to trade there”
(“... dalam jalan menuju Aceh, kira-kira dua mil dari kota, kita melihat 80 pelaut dari kapal-kapal berbeda bangsa, beberapa dari Gujarat, beberapa dari Benggala, beberapa dari Kalikut (disebut juga Malabar), beberapa dari Pegue, beberapa dari Pataya, yang datang untuk berdagang di sana)”.
Selain itu, John Davis of Sandridge, yang bekerja untuk sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan de Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederick) berada di Aceh pada 1598, menulis kesan-kesannya tentang keberadaan orang asing dan perdagangan di Aceh dengan mengatakan bahwa,
“The one and twentieth (June 1599) we anchored in the Bay of Achin, in twelve fathome. Being here, the King sent hos Officers to measure the length and breadth of our ships, to take the number of our Men and Ordnance, which they did. With those Officers, our Baase (Dutch baas, boss) sent two of his people with Present to the King, a Looking-glasse, a Drinking-glasse, and Bracelet of Corall. The one and twentieth, our men came aboord, whome the King had apparelled after his Countrey manner, in white Calicut cloth: they brought newes of peace, Welcome and plenty of Scicery. We found foure Banks riding the Bay, three of Arabia, and of Pegu, that came to lade Pepper. Here was also a Portugall, named Don Alfonso Vincent, that came with foure Barkes from Malacca, to prevent our trade (Ali, 2008: 4)
(Tanggal 21 (Juni 1599) kami bersauh di pantai Aceh, sedalam dua belas depa. Raja mengirim pejabatnya untuk mengukur panjang dan luasnya kapal-kapal kami, menghitung jumlah anggota kami dan peralatan militer. Bersama dengan pejabat-pejabat itu, pemimpin kami mengirim dua anggotannya dengan (membaw) hadiah-hadiah kepada raja, sebuah cermin dan gelas, serta gelang batu. Pada tanggal 21 kami mendarat dimana raja telah berdandan khas daerah dalam pakaian putih Kalikut: mereka menyampaikan berita perdamaian, keramah-tamahan, dan sekian banyak rempah-rempah. Kami melihat empat barks (kapal, tongkang ?) yang berlayar di pantai, tiga milik orang Arab dan satunya lagi milik orang Pegu, yang datang untuk memuat lada. Juga orang Portugas, bernama Don Alfonso Vincent, yang datang dengan empat barks dari Malaka, untuk merintangi perdangan kami)
Luas wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu: 57.365,57 Km² atau 2,88 % dari luas negara Republik Indonesia. Pemekaran wilayah administratif pemerintahan sekarang ini mencapai 23 daerah tingkat II, yang terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 kota. Kedelapan belas kabupaten tersebut adalah Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kabupaten Simeulu. Lima pemerintahan kota yaitu Kota Banda Aceh (Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Kota Sabang, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, dan Kota Subulussalam. Keseluruhan daerah ini terdiri dari 139 kecamatan yang meliputi 591 mukim dan 5.463 desa. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki tinggi rata-rata diatas permukaan laut 125 m dengan kondisi daerah: 74,8 persen yang terdiri dari hutan 11,67 persen lahan pertanian 1,59 persen desa/kemukiman 8,7 persen gunung, danau dan sungai. Adapun gunung terdiri atas: 39 buah, danau 2 buah dan sungai 73 buah.
Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam bagian tengah merupakan pegunungan yang merupakan bentangan Bukit Barisan. Pegunungan Bukit Barisan ini memanjang mulai dari Banda Aceh/Aceh Besar hingga Aceh Tenggara. Dalam rangkaian pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa gunung yang cukup terkenal di antaranya Gunung Seulawah Agam (1.806 m), dan Gunung Leuser (3. 381 m). Gunung ini adalah gunung tertinggi yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sungai-sungai yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bermuara di tiga laut, yang sebahagian muaranya ke Samudera Indonesia, Selat Malaka, dan yang sebahagian lagi bermuara ke Laut Andaman/Teluk Benggala. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat dua buah danau yang berukuran besar, yaitu Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dan Danau Aneuk Laot di Kotamadya Sabang. Luas Danau Laut Tawar adalah 660 km², dengan ketinggian 1.225 m dari permukaan laut. Sedangkan Danau Aneuk Laot luasnya sekitar 300 km². Kedua danau tersebut mempunyai potensi ekonomi dan pariwisata yang sangat besar untuk perkembangan daerah.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikelilingi oleh sejumlah pulau yang berukuran besar maupun kecil. Jumlah pulau secara keseluruhan adalah 19 buah, ini baik pulau yang dihuni ataupun pulau yang tidak ada penghuninya. Pulau yang memiliki luas wilayah dengan penghuni yang banyak adalah Pulau Simeulue dan Pulau Banyak, pulau tersebut berada di sebelah pantai selatan. Di samping itu, terdapat juga Pulau Weh, Pulau Breueh, Pulau Rondo, dan Pulau Nasi yang berada di sebelah pantai barat laut. Sementara pulau-pulau lainnya diantaranya adalah Pulau Asu, Pulau Babi, Pulau Bangkaru, Pulau Keureuse, Pulau Kluang, dan Kepulauan Kokos.
Luas perairan Aceh lebih kurang 35.000 km², meliputi perairan laut Samudera Indonesia di posisi sebelah barat dan selatan, sedangkan laut Andaman/Teluk Benggala berada di posisi sebelah utara. Banyak pulau-pulau yang terdapat di Aceh, namun pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh selat. Misalnya saja Selat Malaka yang merupakan pemisah antara Pulau Weh dengan daratan Aceh, disamping Selat Lampuyang dan Teluk Benggala. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki juga sejumlah tanjung dan teluk. Beberapa tanjung dan teluk yang cukup terkenal antara lain adalah Teluk Sabang Tanjung Bateeputih, Tanjung Pidie, Tanjung Peusangan, Tanjung Jambo Aye, Teluk Seumawe (Lhok Seumawe), Tanjung Peureulak, Tanjung Tamiang, Teluk Sanaton, Teluk Sibigo.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk wilayah beriklim tropis, meliputi dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau diperkirakan terjadi pada bulan Maret sampai bulan Agustus sedangkan musim hujan terjadi mulai dari bulan September sampai dengan bulan Februari. Adapun curah hujan rata-rata minimal mencapai 23 - 25° C dan rata-rata maksimal mencapai 30 - 33° C dengan kelembaban relatif antara 65% - 75%.

No comments: