August 12, 2008

Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai asset wisata religius di Aceh



Oleh: Sri Waryanti dan Agus Budi Wibowo[1]

Setiap bulan Rabiul Awal tiba sebagian kaum muslim di Indonesia, bahkan di dunia, mulai tampak sibuk. Pada bulan inilah kaum muslim memperingati dan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap daerah merayakannya dengan cara berbeda-beda menurut kebiasaan yang mereka laksanakan. Misalnya di Banten, banyak orang melakukan ziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian diantaranya berendam di kolam masjid untuk mendapatkan berkah. Ada juga di antara mereka yang sengaja mengambil air untuk dibawa pulang sebagai obat.
Sementara itu di Cirebon, banyak orang Islam berdatangan ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga, di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya, di Kraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat , yakni upacara memandikan pusaka-pusaka Kraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut karena dipercaya membawa keberuntungan.
Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surabaya perayaan Maulid dikenal dengan istilah Sekaten. Istilah ini berasal dari kata Shahadatain, yaitu pengakuan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Kemeriahan serupa juga dapat dilihat di setiap negeri muslim sekarang ini, seperti di Mesir, Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Sudan, Yaman, Iran, Malaysia, dan banyak negeri Islam lainnya. Di kebanyakan negara Islam, hari itu merupakan hari libur nasional.
Di tanah air, dalam rangka perayaan hari Maulid, baik yang akbar maupun yang biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan karya tulis Kitab al-Barzanji. Barzanji adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad SAW mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi Rasul. Karya ini juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad SAW serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Dalam catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW.
Peringatan Maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak mempopulerkannya pada masa pemerintahan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang tengah bersiap menghadapi serangan tentara Nasrani dari Eropa pada episode Perang Salib yang terkenal itu.

Kenduri Maulid Pada Masyarakat Aceh
Pelaksanaan kanduri Maulod (kenduri Maulid) pada masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang Ulee (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir pembawa dan penyebar ajaran agama Islam. Kenduri ini sering pula disebut kanduri Pang Ulee.
Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir.
Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiul Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadil awal. Umumnya seluruh masyarakat mengadakan kenduri Maulid hanya waktu pelaksanaannya yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan menyelenggarakan dari masyarakat.
Kenduri Maulid oleh masyarakat Aceh dianggap sebagai suatu tradisi. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan.
Penyelenggaraan kenduri maulid dapat dilangsung-kan kapan saja asal tidak melewati batas bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal, tepatnya mulai tanggal 12 Rabiul Awal sampai tanggal 30 Jumadil Awal. Selain itu waktu kenduri maulid ada yang menyelenggarakan pada siang hari dan ada pula yang menyelenggarakannya pada malam hari.
Bagi desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada siang hari mulai jam 12 siang hidangan telah siap untuk diantar ke meunasah atau mesjid. Demikian pula bagi yang menyelenggarakan kenduri di rumah, hidangan [2]telah ditata rapi untuk para tamu. Pertandingan meudikee maulod (zikir marhaban atau zikir maulid) dimulai sejak pukul 9 pagi dan berhenti ketika Sembahyang dhuhur untuk kemudian dilanjutkan kembali.
Selanjutnya desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada malam hari hidangan dibawa ke meunasah atau mesjid setelah sembahyang Ashar atau menjelang maghrib, sedangkan lomba meudikee maulod dilangsungkan setelah sembahyang Isya.
Penyelenggaraan kenduri maulid umumnya dilangsungkan di meunasah atau mesjid. Panitia pelaksana kenduri mengundang penduduk dari desa-desa lain yang berdekatan atau desa tetangga dan ada juga yang mengundang semua desa dalam kemukimannya . Kondisi ini diperngaruhi oleh jumlah hidangan yang disediakan oleh warga desa.
Di samping itu ada juga yang melaksanakan kenduri di rumah saja atau secara pribadi disebut maulod kaoy (maulid nazar). Maulid ini diselenggarakan untuk melepas nazar yang menyangkut kehidupan pribadi atau keluarga disebabkan permohonan mereka kepada Allah SWT telah dikabulkan. Penyelenggaraan kenduri maulid ini sesuai dengan nazar yang dicetuskan sebelumnya. Apabila nazarnya ingin menyembelih seekor kerbau, maka pada saat kenduri akan disembelih hewan tersebut, demikian pula jika nazar ingin menyembelih seekor kambing.
Daging hewan yang dinazarkan setelah dimasak dan ditambah lauk-pauk lainnya akan dihidangkan kepada undangan. Besar atau kecilnya kenduri tergantung kepada kemampuan orang yang melaksanakan.
Pihak yang mengadakan kenduri, sebelumnya telah memberitahu kepada keuchik (kepala desa) dan teungku meunasah (imam desa). Apabila kendurinya besar akan dibentuk panitia yang berasal dari penduduk desa setempat. Penduduk dari luar desa tidak diundang, kecuali sanak saudara atau ahli famili pihak yang mengadakan kenduri serta anak yatim yang berada di sekitarnya.
Hidangan yang menjadi tradisi keharusan dalam kenduri Maulid di meunasah dan di rumah berupa beuleukat kuah tuhee (nasi ketan dengan kuah), sebagai hidangan siang hari selain nasi dan lauk pauk. kuah tuhee lalu dimakan bersama ketan. Pada malam hari hidangan yang harus disediakan berupa beuleukat kuah peungat. Kuah peungat adalah santan dicampur dengan pisang raja dan nangka serta diberi gula secukupnya.
Seperti telah disebutkan di atas Kenduri maulid dapat dilaksanakan dalam 3 bulan dimulai dari bulan Rabiul awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal. Apabila kenduri telah dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal berarti pelaksanaan kenduri pada tahun bersangkutan telah dilaksanakan, tidak perlu diadakan lagi pada pada bulan Rabiul Akhir dan bulan Jumadil Awal.
Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal mempunyai nilai yang sama tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, hanya tergantung kepada kemampuan dan kesempatan warga desa.
Maulid Nabi sebagai aset Wisata
Aceh telah memproklamirkan sebagai daerah yang berlandaskan syariat Islam. Oleh karena itu, segala aspek kehidupan berhulu pada ajaran agama Islam. Kenduri Maulid memang khas sebagai adat dan budaya Aceh. Tentunya, ia sangat relevan dengan kehidupan masyarakat di daerah ini, yang telah pula memproklamirkan diri sebagai daerah dengan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah daerah yang bersyariat Islam, maka semua aspek kehidupan diarahkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sikap, perilaku, tatakrama didasarkan kepada syariat Islam.
Apalagi dalam perayaannya Maulid Nabi dilaksanakan secara besar-besaran. Sebelum konflik memanas, di Banda Aceh dilaksanakan kenduri Maulid secara besar-besaran. Kenduri ini diikuti oleh ribuan orang, yang meliputi utusan dari lembaga-lembaga pemerintahan, masyarakat, dan kalangan swasta. Kegiatan Maulid Nabi ini dilaksanakan di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Tidak jauh berbeda yang dilaksanakan di Banda Aceh, di kabupaten/kota pun dilaksanakan kenduri maulid secara besar-besaran. Namun tatkala konflik terus berkembang dan semakin memanas kenduri Maulid tidak pernah dilaksanakan lagi. Untuk itu, dalam kondisi Aceh yang semakin aman, maka hendaknya kenduri Maulid ini dilaksanakan lagi seperti dulu. Kenduri Maulid dapat dijadikan sebagai objek wisata. Seperti daerah lain, misalnya pelaksanaan Maulid di Yogyakarta dilaksanakan secara besar-besaran dan menjadi objek wisata yang cukup menarik bagi wisatawan, baik asing maupun domestik. Apalagi kecenderungan wisatawan asing mengungungi sebuah objek wisata untuk melihat suasana kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Trend wisata pada akhir-akhir ini adalah wisata yang back to nature sehingga kenduri Maulid sangat menjanjikan sebagai sebuah atraksi budaya bagi wisatawan.

[1]Sri Waryanti dan Agus Budi Wibowo merupakan peneliti muda pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
[2]Hidangan yang dibawa untuk kenduri ditempatkan pada tempat yang disediakan, yang disebut idang. Namun di Desa Jurong Teupin Pukat Muerah Dua sudah bertahun-tahun menyelenggarakan kenduri Maulid ala rantangan, Baca Abdullah Gani, “Teupin Pukat, Maulid Ala Rantangan”, dalam Serambi Indonesia tanggal 13 April 2007

No comments: