June 18, 2009

Peusijuek dalam Penyelesaian Konflik atau Persengkatan dalam Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

A.Pendahuluan

Setiap komunitas di dunia memiliki budaya atau adat istiadatnya masing-masing yang disesuaikan dengan kondisi komunitas tersebut. Budaya merupakan “buku” yang berisi tentang aspek perilaku, pandangan, tata cara, dan benda-benda karena ia berisi tentang sistem nilai, sistem sosial dan juga hasil karya manusia. Oleh karena itu, budaya menjadi suatu yang sangat penting, baik bagi komunitas itu sendiri maupun bagi di luar komunitas.
Bagi orang-orang luar, pengetahuan tentang keberadaan suatu komunitas sangat bermanfaat karena dapat membantu “memasuki” alam yang dimiliki komunitas, misalnya kita dapat mengetahui suatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sacral dan profane, kelebihan dan kekurangan, dan sebagainya. Dengan demikian, akan mengurangi friksi atau konflik yang terjadi.
Apabila konflik tidak dapat dihindari, maka kita harus menyelesaikannya. Salah satu rangkaian penyelesaian konflik atau persengkatan menurut adat istiadat Aceh adalah melalui peusijuk. Untuk itu, tulisan ini membahas peran dari peusijuek karena ritual tersebut mempunyai peran yang sangat penting terselesaikannya konflik atau sengketa yang terjadi.

B.Pengertian Peusijuek

Dalam terminologi bahasa-bahasa daerah di Nusantara, kebahagiaan, kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan semua tergabung dalam konsep “sejuk”, sedangkan kata “panas” mewakili segala kekuatan jahat. Oleh karena itu, apabila seseorang baru saja menghalau serangan kekuatan “panas” atau cukup mujur membebaskan diri dari serangan itu, adat menggariskan cara “penyejuk” untuk memantapkan diri kesejahteraan diri yang telah ditemukannya kembali atau berhasil diselamatkan dari ancaman (Hurgronje, 1985: 342).
Di Aceh penyejukan ini disebut dengan peusijuek. Kata peusijuek (=mendinginkan) barasal dari akar kata sijue’ yang berarti dingin. Dingin atau sejuk, dalam negeri-negeri tertentu di daerah tropis berarti juga: kebahagiaan, ketentraman, kedamaian panas (bahasa Aceh: seu’uem) adalah serupa dengan menimbulkan bencana. Jika seseorang memperoleh pengaruh-pengaruh “panas” atau sedang berada dalam keadaan demikian, maka orang itu akan mencari obat-obat pendingin untuk menghilangkan atau menolak pengaruh-pengaruh panas itu. Pada setiap umurnya, manusia tidak terlepas dari pengaruh itu; oleh karenanya peusijue” itu dilakukan pada seluruh umur.
Sebagai obat pendingin termasuk juga beras (bahasa Aceh: breueh) dan padi (bahasa Aceh: padè), 2 butir telur mentah dan semangkok air yang dibubuhi kedalamnya tepung beras sedikit (bahasa Aceh: teupông taweue). Dalam air itu dimasukkan juga tumbuh-tumbuhan yang bersifat dindin, yaitu: ôn sisijue’, ôn manè’ manoe dan naleueng sambô; kadang kala dimasukkan juga ôn kala dan ôn pineueng mirah. Tumbuh-tumbuhan itu diikat menjadi sebuah berkas kecil dan dengan itu dipercikkanlah orang yang hendak didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut disuntingkan (bahasa Aceh: peusunténg) ketan kuning di belakang daun telinganya (Van Waardenburg, 1936: 3).
Selain itu, biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Oleh karena itu, peusijuek dalam masyarakat dilakukan ketika menempati tempat baru, seperti rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja, menerima tamu, dan lain-lain. Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan, khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan ke-selamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).

C. Peran Peusijuek dalam Penyelesaian Konflik

Konflik adalah suatu hal yang dapat menyebabkan keburukan baik manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Akan tetapi, dalam banyak hal, konflik juga merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Karl Marx menyatakan bahwa konflik ataupun kekerasan adalah bagian yang tidak terelakkan dalam sebuah masyarakat (Pruit dan Rubin, 2004: 12) sehingga kekerasan dapat dikatakan juga sebagai bagian dari budaya manusia (human culture). Untuk, itu menurut pandangan tertentu, konflik itu merupakan suatu kebutuhan, terutama sebagai proses sosial (Sugihen, 2004: v). Menurut pandangan Saby (2007: xvi-xvii) bahwa,

“Tanpa konflik rasanya tidak ada karya besar yang dapat dihasilkan peradaban manusia. Konflik yang demokratis dalam masyarakat yang berdemokrasi adalah sehat sehingga perlu dipelihara, dikembangkan, sedangkan konflik dalam konteks lainnya dapat merugikan dipadamkan. Harus diakui bahwa begitu banyak konflik yang telah menghancurkan manusia dan peradabannya”.

Dalam upaya penyelesaian konflik masyarakat Aceh mempunyai suatu mekanisme tersendiri karena masyarakat Aceh pada dasarnya adalah masyarakat yang cinta damai dan tidak mengenal kata dendam. Sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lage zat ngon sifeuet). Masyarakat mengenal tueng bila (yang artinya menutut bela atas kerugiannya yang diterima) yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan menghina/melukai hati orang lain.
Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan damai sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan biasanya menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat) (Ismail, 2008).
Seperti telah disebutkan di atas, salah satu rangkaian penyelesaian konflik adalah peusijuek. Ritual ini sangat penting dan berperan sehingga mau tidak mau harus dilaksanakan oleh semua pihak yang berkonflik. Peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya konflik yang terjadi, misalnya kasus pidana baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan. Peusijuek dilaksanakan setelah tercapai perdamaian,
Persiapan peusijuek baik dalam konteks adat meulangga, diyat, sayam maupun suloh dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang dipeusijuek adalah para pihak yang secara langsung dirugikan sebagai korban dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imeum (teungku meunasah), kepala desa (keuchik) dan orang yang dihormati di desa.
Setelah dilakukan peusijuek, pihak-pihak yang berkonflik melakukan Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan), yang merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah. Diharapkan adanya peumat jaroe, maka konflik antar mereka berakhir dan tidak ada konflik baru muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imeum, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus (Syafioeddin, 1982: 50) seperti,

"Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeuet keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe.

(Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).

Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek.
Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses perdamaian untuk penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kenduri, peusijuek dan peumat jaroe. Namun pasca peusijuek dan peumat jaroe peran mereka berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.
Bentuk silaturrahmi lanjutan lazimnya diawali dengan kunjungan keluarga kedua pihak pada hari khusus seperti hari meugang (hari memotong sapi atau ternak lain, sehari sebelum Hari Raya atau puasa Ramadan), Hari Raya, kenduri molod, dan lain-lain. Upaya keluarga pelaku pidana yang mengaku bersalah biasanya ditanggapi dengan baik sebagai bentuk manifestasi habblumminannas oleh keluarga korban, sesuai dengan pesan peumat jaroe.

C.Penutup

Dalam terminologi budaya Aceh terdapat sebuah istilah yang sangat sering diucapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu peusijuek. Ritual adat ini sepertinya menjadi suatu yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai keseimbangan hidup (equilibrium) pascakonflik. Tanpa kegiatan ini, perdamaian yang telah dicapai masih dirasakan “kurang sempurna” karena adat telah menetapkan pelaksanaan ritual tersebut, yang mungkin saja dapat menimbulkan konflik baru di kemudian hari. Dengan peusijuek yang disusul oleh peumat jaroe dan kenduri diharapkan dapat memutuskan mata rantai dendam yang berkepanjangan, baik terhadap pihak-pihak yang berkonflik maupun keluarga besarnya.


Daftar Pustaka

Hurgronje, Snouck. 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Soko Guru.
Ismail, Badruzzaman. 2008. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.
Porst, Dean G dan Jefrey Z Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Saby, Yusny. 2007. “Konflik dan Damai Budaya yang dapat Direkayasa”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press
Sufi, Rusdi. 2002. “Kata Sambutan Pembunuhan Khas Aceh dan Kelirunya Sebutan Aceh Pungo” dalam Ridwan Azwad dan Ramli A. Dally (eds.) Aksi Poh Kaphe di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Sugihen, Bahrein T. 2004. “Pengantar Kata”. Dalam Gerhan Lantara. Aceh Menggugat Penolakan Masyarakat Aceh Terhadap GAM. Tanpa penerbit.
Syafioeddin, M. Hisyam. 1982. Perdamian Adat dalam Masyarakat Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh: PLPIIS.
Van Waardenburg, Jan Julius Cornelis Hendrik. 1936. De invloed van den Landbouw op de zeden, de taal en letterkunde de Atjehers. Batavia: Gedrukt te Leinden Bij N.V. Dubbeldeman’s Boekhandel

No comments: