Oleh: Agus Budi Wibowo
Mesjid Jami’ Lueng Bata merupakan salah satu mesjid yang menyimpan nilai historis cukup tinggi. Keberadaan mesjid ini terkait dengan perjalanan sejarah yang cukup panjang dari perjuangan masyarakat Aceh melawan penjajah Belanda.
Mesjid Jamik Lueng Bata terletak tidak jauh dari jalan Banda Aceh – Medan, tepatnya di simpang Muhammadiyah. Daerah ini termasuk di dalam adaministrasi Desa Cot Mesjid Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh. Di dalam kompleks Mesjid Jami’ Lueng Bata terdapat dua mesjid, yaitu mesjid tuha (lama) dan baru. Mesjid lama merupakan mesjid peninggalan masa Belanda sedangkan mesjid baru, yang berada tidak jauh dari mesjid lama, dibangun pada tahun 1968. sejak diresmikannya mesjid baru, mesjid lama tidak difungsikan lagi untuk kegiatan keagamaan dengan alasan mesjid lama ukurannya sangat sempit sehingga tidak dapat menampung jamaah lagi. Dapat dipastikan jamaah 50 persen berada di dalam mesjid dan sisanya berada di luar mesjid. Mesjid tuha berukuran 10 x 12 meter. Berbentuk menyerupai mesjid Indrapuri dengan kubah satu bersegi empat dan tidak bertingkat. Berdinding tebal sehingga dapat dijadikan benteng apabila sewaktu-waktu terjadi penyerangan dari pihak Belanda.
Keberadaan nama Lueng Bata sudah ada pada zaman Kerajaan Aceh. Saat itu, Lueng Bata merupakan wilayah yang dikategorikan sebagai sebuah mukim dengan uleebalang-nya bernama Teuku Raja. Berbeda dengan sagi XXV mukim, sagi XXVI, dan sagi XXII mukim, mukim Lueng Bata merupakan wilayah yang diperintah langsung oleh Sultan. Walaupun mukim ini mempunyai wilayah lebih kecil dibandingkan ketiga sagi, namun kedudukan pimpinannya (imeum mukim) setara dengan panglima sagi yang mengepalai XXV mukim, sagi XXVI, dan sagi XXII mukim (K.F.H. Van Langen (1888).
Pada zaman perang kolonial Belanda di Aceh, Lueng Bata memegang peranan yang sangat penting. Demikian pula pimpinan mukim Lueng Bata, Teuku Imeum Lueng Bata. Ketika agresi Belanda kedua terhadap Kerajaan Aceh, kraton (dalam) terus menerus dibombardir oleh Belanda. Wabah kolera pun sedang berjangkit. Sultan, Panglima Polem, dan Teuku Baet menyingkir ke Lueng Bata. Pada waktu dalam direbut oleh Belanda pada tanggal 24 Januari 1874, Belanda untuk menghentikan serangan, dengan harapan agar dapat memaksakan sebuah persetujuan perdamaian. Dalam pada waktu itu Sultan Mahmud Syah terkena kolera dan mangkat pada tanggal 29 Januari di Pagar Aye (tidak jauh dari Lueng Bata), dimakamkan di Cot Bada, dekat Samahani, Aceh Besar. Walaupun dalam telah jatuh dan sultan telah tiada namun pasukan Aceh masih tetap terpelihara semangat juangnya.
Bahwa pendudukan dalam serta sebagian wilayah Aceh Besar yang disertai secarik kertas proklamasi, Belanda beranggapan sudah cukup membuat wilayah lain bertekuk lutut. Nyatanya tidak demikian. Salah satunya perlawanan ditunjukkan oleh Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku Chik Lam Nga. Mereka berusaha menaklukan Meuraksa. Walaupun mereka berhasil dipukul mundur oleh Belanda, tetap semangat tempur tidak kunjung surut. Sebelumnya, Teuku Imeum Lueng Bata juga pernah ikut serta dalam pasukan yang menghambat gerak pasukan Belanda ketika mereka mendarat di Kampung Lheue dekat Kuala Giging, Aceh Besar (M. Hasan Basri dan Ibrahim Alfian, 1990).
Peran yang lain yang dilakukan oleh daerah dan masyarakat Lueng Bata adalah pelantikan Tuwanku Hasyim Bangtamuda sebagai Mangkubumi Kerajaan Aceh karena Tuwanku Muhammad Daud Syah yang dinobatkan sebagai sultan di Mesjid Indrapuri tahun 1878 dianggap belum dewasa. Tuwanku Hasyim Bangtamuda dilantik di mesjid Lueng Bata.
No comments:
Post a Comment