Oleh: Agus Budi Wibowo
Mesjid Teungku Dianjong terletak di Kelurahan Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Untuk menuju lokasi tersebut dapat dilalui oleh kenderaan bermotor karena jalan menuju lokasi tersebut sudah beraspal. Mesjid tersebut terletak dekat sungai Aceh , sebelah Barat Pasar Peunayong, Banda Aceh sehingga di samping dapat melihat kebesaran sejarah mesjid tersebut, juga dapat menikmati pemandangan sungai Aceh yang dilalui oleh hilir-mudik perahu bermotor untuk mencari ikan di laut.
Mesjid Teungku Dianjong didirikan di atas pondasi yang berdenah bujur sangkar dengan ukuran 14,80 x 9.20 m dan tinggi 16 m. Selain itu, juga terdapat ruang berukuran 166 x 166 cm dan tingginya 177 cm, yang digunakan untuk tempat imam memimpin shalat berjamaah (mihrab). Mesjid tersebut mempunyai atap tumpang dua dan bersusun semakin mengecil ke atas. Pada sisi paling depan bangunan tersebut terdapat serambi yang merupakan bagian dari bangunan induk mesjid. Mesjid tersebut sudah memiliki langit-langit yang terbuat dari triplek sehingga udara tidak bebas keluar masuk dari ventilasi atap tumpang.
Mesjid Teungku Dianjong telah mengalami pemugaran pada tahun 1990 yang dibiayai oleh Pemda Kota Banda Aceh, karena perluasan bangunan baru pada sisi dindingnya menyimpang dari bentuk semula akhirnya pembangunan tersebut dihentikan
Mesjid Teungku Dianjong didirikan sekitar abad ke-18 oleh seorang ulama besar bernama Syaikh Abubakar bin Husein Bafaqih pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1791). Beliau mengembara dari Timur Tengah, kemudian bermukim dan mengembangkan agama Islam di daerah ini. Beliau menjadi guru besar dalam hal pendidikan agama dan kemasyarakatan. Di samping sebagai guru agama juga dianggap sebagai orang keuramat dan diberi gelar Teungku Dianjong (orang yang tinggi statusnya).
Selain itu, maksud Teungku Dianjong adalah orang yang disanjung, dimuliakan dan tinggi martabatnya dari segi agama, adab dan adat-istiadat. Dalam usaha merealisasikan pengembangan dakwah Islam, beliau bersama masyarakat setempat membangun sebuah rumah (rumoh raya) sebagai tempat pengajian Al-quran sekaligus sebagai tempat memberikan pelajaran agama Islam.
Selain mendirikan tempat pengajian (rumoh raya), beliau juga mendirikan sebuah mesjid. Pendirian mesjid tersebut sebagai realisasi dari ajaran Islam untuk melaksanakan ibadah, di antaranya sebagai tempat shalat berjamaah. Di samping itu, juga dapat difungsikan sebagai tempat pertemuan mobilisasi massa dalam usaha melawan penjajahan Belanda. Setelah Syaikh Abubakar bin Husein Bafaqih meninggal, kemudian dimakamkan di samping mesjid tersebut. Oleh karena itu, sebagai tanda penghormatan masyarakat, maka namanya diabadikan pada nama mesjid tersebut, yaitu Mesjid Teungku Dianjong.
Seperti mesjid-mesjid yang ada di Aceh, mesjid merupakan sebuah pusat kegiatan keagamaan, yang mencakup syiar Islam. Selain itu, mesjid ini juga dijadikan sebagai tempat pendidikan keagamaan. Pada zaman dahulu di komplek mesjid ini dibangun pula dayah untuk mendidik para santri menjadi ulama.
Selain itu, pada zaman penjajahan Belanda, mesjid Tgk. Dianjong pernah pula dipakai oleh Belanda sebagai tempat “bersumpah” Teuku Umar. Ketika itu Teuku Umar bersumpah untuk menjadi “pejuang” Belanda melawan pejuang Aceh. Padahal sebelumnya Teuku Umar amat gigih melawan Belanda. Ada yang mengatakan bahwa langkah ini diambil oleh Teuku Umar hanya merupakan salah satu bentuk strategi perjuangan. Oleh Belanda, Teuku Umar kemudian mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan sebagai penghargaan terhadap “penghianatan” Teuku Umar atas rakyat Aceh. Memang, tidak lama kemudian Teuku Umar bertempur atas nama Belanda. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Teuku Umar kembali lagi ke pangkuan ibu pertiwi dan meninggalkan Belanda.
Ketika tsunami melanda Aceh pada tanggal 26 desember 2004 mesjid ini mengalami kehancuran. kemudian, dipugar, akan tetapi sangat disayangkan pemugaran sedikit banyak telah merubah bentuk asli dari bangunan.
1 comment:
makasih mas infonya,senang sekali aq berbagi infonya sama mas
Post a Comment