Oleh: Agus Budi Wibowo
A. Pendahuluan
Aceh merupakan salah satu daerah berada di ujung Pulau Sumatera. Ia mempunyai akses yang strategis ke segala penjuru dunia. Ia menjadi pintu gerbang menuju Samudra atlantik dan Hindia. Tidak mengherankan Aceh pernah menjadi tempat singgahan dari para pedagang yang berasal dari berbagai negara. Tentunya, dalam konteks ini, Aceh mempunyai potensi pula dalam bidang pariwisata. Di daerah ini mempunyai potensi wisata budaya, alam, bahari, dan sebagainya yang cukup potensial untuk dikembangkan. Sebelum konflik pariwisata cukup berkembang secara baik. Akan tetapi, tatkala koflik berlangsung pariwisata Aceh mengalami perkembangan yang stagnan. Apalagi bencana tsunami melanda Aceh, pariwisata Aceh mengalami kemunduran yang cukup parah. Pariwisata di Aceh dalam posisi nadhir.
Pasca konflik dan masa rehabilitasi dan rekonstruksi di aceh, pariwisata di daerah ini mengalami perubahan-perubahan yang cukup baik menuju proses pemulihan. Akan tetapi, proses pemulihan tidak berjalan secara cepat. Malahan terdapat kontradiksi di lapangan. Akhir-akhir ini tempat-tempat wisata di razia oleh sekelompok orang karena dianggap tempat-tempat wisata dipakai tempat untuk bermaksiat. Akibatnya, objek wisata menjadi sepi dari pengujung. Hal ini menyebabkan akibat lebih lanjut perekonomian masyarakat menjadi tidak berkembang.
Memang tidak disalahkan apabila ada razia dilakukan terhadap pengunjung tempat-tempat wisata yang melakukan maksiat. Hal sesuai dengan pemberlakuan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal ini pariwisata. Namun, juga tidak boleh serta merta menutup objek wisata dari kegiatan pariwisata.
Fakta dan kenyataan di atas menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata yang relevan dilaksanakan adalah pariwisata yang bernuansa dengan syariat Islam. Hal ini memang tidak berbeda jauh dengan keseharian kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh. Mereka menjadikan ajaran agama Islam menjadi pegangan hidup. Semua aspek kehidupan harus berlandaskan ajaran agama Islam. Dengan demikian, apabila kita ingin mengembangkan kepariwisataan di Aceh, maka kita tidak boleh melupakan kebudayaan Aceh. Dengan kata lain, kebudayaan Aceh merupakan pilar dalam pengembangan kepariwisataan di daerah Serambi Mekah ini.
B. Dimensi Sosial Budaya Aceh
Kebudayaan merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan fisik dan kebutuhan-kebutuhan biologis. Kebudayaan juga merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan (Carol R. Ember dan Melvin Ember, 1973). Di sisi lain kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1981: 180) diartikan sebagai,
“Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Manusia sebagai pendukung kebudayaan itu disebut pula sebagai makhluk sosial sehingga dalam hidupnya selalu mengadakan hubungan secara timbal-bahk dengan sesamanya. Interaksi itu dapat terjadi antara orang perorangan, antara kelompok manusia dengan kelompok manusia antara kelompok manusia dengan kelompok manusia, dan antara perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1990: 67).
Seperti kita ketahui, memasuki awal tahun 2002, masyarakat Aceh memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Mulai tahun 2002 ini, syariat Islam diterapkan dalam berbagai kehidupan masyarakat Aceh. Secara politis, di Aceh diterapkan syariat Islam melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Berdasarkan kedua undang-undang ini DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam.
Kenyataannya, Islam dalam masyarakat Aceh telah mendarah daging di dalam segala aspek kehidupan sejak zaman dahulu. Ajaran Islam mengakar kuat di dalam sanubari hati dan jejak langkah kehidupan masyarakat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan, dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran agama Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran agama Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dan ajaran agama. Hal ini berarti seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agama atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (Hakim Nyak Pha, 2000).
Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti termaktub dalam beberapa hadih maja seperti Adat bak Poteu Meurohom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam ngon mata puteh. Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekkah, Semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi. Terkait dengan hal tersebut, pariwisata yang dikembangkan Nanggroe Aceh Darussalam umumnya adalah pariwisata yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya Islam.
C. Potensi Wisata Budaya Di Banda Aceh
Banda Aceh yang mencanangkan motto Banda Aceh bandar Islami memiliki banyak potensi wisata budaya, seperti
1. Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman merupakan mesjid yang terbesar dan termegah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mesjid ini mempunyai arsitektur yang indah dan terletak di pusat kota. Mesjid Raya Baiturrahman tidak sekedar berfungsi sebagai sebuah tempat religius semata, tetapi juga mempunyai makna yang mendalam bagi masyrakat Aceh berkaitan dengan sejarah pendudukan Belanda di daerah ini. Ketika Belanda belum menduduki Aceh, mesjid ini dipergunakan oleh pejuang-pejuang Aceh sebagai markas pertahanan mereka.Sebelum wujudnya yang seperti sekarang, beberapa tulisan tentang sejarah mesjid raya Baiturrahaman menyebutkan bahwa mesjid ini mulai dibangun pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Namun ada pula yang mensinyalir bahwa mesjid ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada tahun 1292 (621H). Perluasan mesjid juga dilakukan kembali pada masa pemerintahan Nakiatuddin Khinayat Syah pada tahun 1675 - 1678 M.
Saat ini, tepat di depan mesjid ini terdapat Menara Tugu Modal. Menara/Tugu modal merupakan sebuah menara sebagai monumen bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara terdiri dari enam lantai yang dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa.
2. Taman Sari Gunongan
Salah satu benda peninggalan budaya yang bernilai sejarah dan masih dapat kita saksikan dalam keadaan utuh adalah Gunongan lengkap dengan taman sarinya. Gunongan ini terletak di pusat kota Banda Aceh, tepatnya berada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor atau labi-labi melalui jalan Teuku Umar. Taman Sari Gunongan merupakan salah satu peninggalan kejayaan Kerajaan Aceh, setelah kraton (dalam) tidak terselamatkan karena Belanda menyerbu Aceh.
Gunongan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung Malaka. Putri boyongan dari Pahang yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya membuat Sultan Iskandar Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan permaisurinya untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana pegunungan ditempat asalnya terpenuhi. Selain sebagai tempat bercengkrama, Gunongan juga digunakan sebagai tempat berganti pakaian permaisuri setelah mandi di sungai Isyiki yang mengalir di tengah-tengah istana
Gunongan adalah bagian dari suatu kompleks yang lebih luas, Taman Ghairah, yang merupakan bagian dari taman istana. Di kompleks ini sekarang hanya tersisa empat buah bangunan; Gunongan itu sendiri, leusong (lesung batu) terletak di kaki Gunongan, agak di bagian Tenggara; kandang sebuah bangunan empat persegi di bagian utara di arah timur laut sepanjang sungai Krueng Daroy, dan Pinto Khop adalah sebuah pintu gerbang berbentuk kubah yang dulunya menghadap istana dan menghubungkan taman dengan alun-alun istana. Hanya anggota keluarga istana kerajaan yang diizinkan melewati pintu gerbang ini.
3. Museum, Rumoh Aceh, Lonceng Cakra Donya, Kompleks Makam Kandang Meuh, Makam Sultan Iskandar Muda, dan Pendopo Gubernur
Di sekitar jalan Sultan Mahmud Syah terdapat beberapa objek bersejarah yang sangat menarik dikunjungi. Adapun objek tersebut adalah Museum Negeri Aceh, Rumoh Aceh, lonceng Cakra Donya, Kompleks Makam Kandang Meuh, Makam Sultan Iskandar Muda, dan Pendopo Gubernur.
Pemerintah Belanda pada tahun 1914 membangun Rumoh Atjeh (Rumah Aceh). Adapun fungsi Rumoh Atjeh tersebut adalah tempat pameran barang-barang yang berasal dari Aceh dalam Pameran Kolonial (de-koniale tenstoonsteling). Pameran ini dilaksanakan di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus sampai dengan 15 Agustus 1915. Setelah selesai pameran, bangunan ini dibongkar dan dibawa kembali ke Kutaraja. Selanjutnya rumoh tersebut dibangun sesuai dengan bentuknya semula dan dijadikan Museum Aceh yang ditempatkan di samping lapangan eksplanade Kutaraja. Oleh karena itu, ada juga yang menyebut museum ini dengan nama Rumoh Aceh. Museum Aceh itu sendiri pemakaiannya diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915.
Saat ini Museum Negeri Aceh merupakan museum yang dikelola oleh pemerintah dan sebagai tempat penyimpanan berbagai benda bersejarah, baik dari masa kerajaan hingga masa kemerdekaan. Koleksi yang ada di museum ini antara lain stempel Kerajaan Aceh, replika makam Malikul Saleh, naskah kuno, mata uang Kerajaan Aceh, dan lain-lain.
Koleksi lain yang berada di museum ini adalah Lonceng Cakra Donya. Mengenai keberadaan Lonceng Cakra Donya terdapat beberapa versi. Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua itu digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Negeri Aceh. Ternyata pada saat lonceng itu dibersihkan pada bagian luarnya terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina. Simbol-simbol tersebut telah aus dan inskripsi dalam huruf Arab tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tunangan-tunangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya.Lonceng itu mungkin merupakan lonceng kuil dan telah berkarat seluruhnya, sedangkan emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Huruf-huruf Cina pada lonceng itu berbunyi Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo yang dapat diartikan sebagai berikut Sultan Sing Fa yang telah dituang di dalam bulan 12 dari tahun 5.
Komplek Kandang Meuh (Makam-Raja-raja Aceh) ini terletak di Komplek Baperis dan Komplek Museum Negeri Aceh. Dalam Komplek Baperis terdapat dua Kandang Raja Aceh, yang pertama disebut Kandang Meuh dan satu lagi disebut Komplek Makam Sultan Ibrahim Mansur Syah. Adapun yang dimakamkan di Komplek Kandang Meuh antara lain Putri Raja anak Raja Bengkulu, Sultan Alaidin Mahmud Syah, Raja Darussalam, Tuanku Zainal Abidin dan lain-lain.
Selanjutnya Komplek Makam Sultan Ibrahim Mansur Syah dimakamkan antara lain Pocut Rumoh Geudong (istri Sultan Ibrahim Mansur), Pocut Sri Banun (anak Sultan Ibrahim Mansur), Sultan Ibrahim Mansur Syah (memerintah tahun 1836 - 1870), Sultan Muhammad Syah (anak Sultan Mahmud Syah), Sultan Husein Johar Al-alam Syah (anak Sultan Muhammad Syah), Putoru Binen (kakak Sultan Ibrahim Mansur Syah), Tuanku Husein Pangeran Anom (anak Sultan Ibrahim Mansur), Tuanku Cut Zainal Abidin, Tengku Chik, Tuanku Raja Ibrahim (anak Sultan Mohammad Daud Syah). Dalam Komplek Museum Negeri terdapat makam Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727 - 1735), Sultan Alauddin Johan Syah (1735 - 1760), Sultan Alauddin Mohammad Daud Syah (1781 - 1795), dan Pocut Mohammad (anak Sultan Ahmad Syah).
Tidak jauh dari kompleks makam Kandang Meuh terdapat makam Sultan Iskandar Muda. Sultan yang pernag memerintah Kerajaan Aceh. Di bawah pemerintahannya Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Di sebelah barat dari makam Sultan Iskandar Muda, terdapat Pendopo Gubernur (Meuligo Aceh). Di sinilah para gubernur Aceh bertempat tinggal. Pendopo Gubernur dibangun oleh pemerintah militer Belanda. Adapun tempat dimana bangunan ini berdiri merupakan bekas kraton Kerajaan Aceh. Arsitektur bangunan Pendopo Gubernur merupakan kombinasi antara arsitektur Eropa dan Aceh.
Selain potensi yang telah disebutkan di atas, ada beberapa potensi wisata budaya yang dapat menjadi aset yang baik untuk dikembangkan sebagai wisata budaya yang mendukung “Banda Aceh sebagai Bandar Islami”. Potensi tersebut mencakup upacara kenduri Maulid Akbar, Tradisi Makmeugang, Kebiasan minum kopi, tari-tarian seperti seudati, rapai’i, saman. Hasil-hasil industri budaya juga dapat dikembangkan sebagai aset pariwisata yaitu makanan khas Aceh, rencong, dan sebagainya.
D. Pengembangan Wisata Budaya
Secara umum pengembangan pariwisata selalu berorientasi pada kebutuhan pasar dan ketersediaan sumber daya yang berkelanjutan. Menurut Sambudjo Parikesit (2005: 3-4) pengembangan pariwisata ini diarahkan untuk
1. Memberikan perhatian dan dukungan yang lebih besar pada usaha pariwisata skala kecil.
2. Mendorong tumbuhkembangnya ekonomi termasuk bidang pariwisata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan.
4. Menciptakan nilai tambah terhadap kekayaan sumberdaya wisata.
Oleh karena itu, diperlukan prinsip dasar yang harus dijadikan norma dalam penyusunan kebijakan pengembangan pariwisata sebagai berikut,
1. Kelestarian lingkungan hidup. Lingkungan merupakan salah satu ekosistem yang sangat rawan terhadap intervensi yang menyebabkan hilangnya daya tarik yang dimiliki. Untuk meminimalisasi dampak yang terjadi, maka konsep daya dukung (physical and social carriying capacity) mutlak diterapkan pada semua destinasi pariwisata.
2. Kemitraan. Pengembangan pariwisata memerlukan dukunungan dunia usaha dan pelibatan masyarakat selain peranan pemerintah. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat merupakan penjabaran pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism).
3. Pengembangan masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam pengembangan wisata untuk menciptakan keamanan, kenyamanan, dan peningkatan kapasitas masyarakat sehingga dapat meminimalisasi ancaman yang berasal dari masyarakat. Dengan demikian, arah pengembangan yang melibatkan masyarakat sebagai subjek ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan manfaat kepariwisataan di sebuah destinasi atau daerah bagi masyarakat.
4. Persatuan dan kesatuan. Pengembangan pariwisata harus tetap dalam kerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wisata budaya merupakan suatu bentuk wisata dengan objek utama mengacu kepada kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dimaksudkan dengan kehidupan masyarakat yang dapat “dijual” adalah nilai-nilai budaya, cara hidup dari suatu komunitas, seperti kesenian rakyat, kerajinan tangan, pameran, festival, upacara daur hidup dan sebagainya. Namun wisatawan asing biasanya tertarik tidak hanya pada objek wisata yang sifatnya front stage seperti yang telah disebutkan, tetapi mereka juga tertarik pada aspek-aspek budaya yang sifatnya back stage. Hal ini tidak terlepas dari trend kehidupan orang Barat yang ingin back to nature. Masyarakat Indonesia kaya dengan kehidupan seperti itu. Dapat kita sebutkan seperti kehidupan masyarakat Baduy di Jawa Barat, Orang Tengger di Jawa Timur, Orang Papua. Di Banda Aceh juga memiliki kehidupan masyarakat yang masih “alami” dan masih memegang kehidupan adat-istiadat. Kehidupan ini mempunyai nilai jual yang cukup baik bagi wisatawan.
Di Aceh (Banda Aceh) terdapat delapan subsuku bangsa yaitu suku Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subsuku bangsa ini mempunyai nilai-nilai budaya yang amat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian, kedelapan subsuku bangsa ini ditautkan oleh ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Mereka menjadikan ajaran agama Islam menjadi tolok ukur baik-buruk dari semua perilaku, baik dalam kehidupan sosial ekonomi maupun kehidupan kemasyarakatan lainnya.
Oleh karena itu, di dalam aktivitas kepariwisataan di Banda Aceh masyarakat juga harus mengacu kepada nilai-nilai ajaran agama Islam. Tanpa mengacu kepada ajaran Islam, pariwisata Aceh akan dijauhi oleh masyarakat. Masyarakat tidak akan menerima dunia pariwisata di sekeliling kehidupan mereka. Apalagi sejak tahun 2001, Aceh ditetapkan sebagai daerah di Nusantara yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian, semua sendi kehidupan masyarakat harus berpedoman kepada syariat Islam.
Dalam dunia kepariwisataan terdapat beberapa aspek seperti pelayanan, penyediaan infrastruktur. Pelayanan dimaksud di sini pelayanan akomodasi dan konsumsi. Selain pelayanan harus mengikuti standar internasional dalam dunia kepariwisataan, maka sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Aceh harus ditambah lagi dengan penyesuaian terhadap ajaran agama Islam, sehingga pariwisata yang dilaksanakan di Banda Aceh sesuai dengan syariat Islam. Misalnya, kesenian yang ditampilkan juga harus bernuansa Islami; pelayanan yang diberikan harus pula bernafaskan Islami.
Ajaran agama Islam tidak melarang adanya kegiatan kepariwisataan. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri sudah pernah melakukannya. Ajaran agama Islam hanya melarang kegiatan kepariwisataan yang merusak akidah seseorang dan merusak lingkungan alam sekitarnya. Di sisi lain, ajaran agama Islam juga mengajarkan bagaimana umatnya agar memuliakan tamu yang datang ke rumah atau daerahnya (Aceh: peumulia jamee).
Beberapa kegiatan prioritas dalam pengembangan Banda Aceh - Nanggroe Aceh Darussalam antara lain meliputi
1. Membangun komitmen seluruh stakeholder pariwisata.
2. Pemantapan kondisi keamanan, ketertiban, kebersihan, dan failitas pelayanan pariwisata.
3. Penataan dan pemantapan rencana indung pengembangan pariwisata pascatsunami.
4. Optimalisasi atraksi dan daya tarik wisata yang siap jual antara lain pengembangan wisata religi/agama dengan pasar yang lebih fokus.
5. Peningkatan pemahaman dan kesiapan masyarakat untuk mendukung agenda pembangunan kepariwisataan di Banda Aceh - Nanggroe Aceh Darussalam.
6. Kerjasama dan kemitraan dengan daerah lain/sekitarnya untuk kegiatan perencanaan dan pemasaran/promosi bersama melalui peluncuran paket wisata terpadu.
Pada dasarnya tujuan pengembangan kepariwisataan bukan saja diarahkan untuk pariwisata itu sendiri, tetapi sebagai alat untuk mendukung pengembangan wilayah dalam rangka pembangunan daerah dan nasional.
D. Penutup
Pariwisata Aceh umumnya dan Banda Aceh mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Nusantara. Kegiatan kepariwisataan di daerah ini harus dibingkai oleh syariat Islam yang kaffah. Dengan demikian, kebudayaan adalah pilar utama pengembangan kepariwisataan di daerah ini. Apalagi hal tersebut didukung oleh potensi yang cukup banyak dalam pengembangannya. Tinggal lagi, komitmen dan political will dari semua pihak dalam pembangunan kepariwisataan yang didukung oleh masyarakat dan dana yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Cliford
1978 The Interpretation of Culture. New York: Basic Book Inc.
Hakim Nyak Pha, M.
2000 “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat” Haba No. 13/2000. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Husin, Amir
1992 Pariwisata Spritual. Banda Aceh: Dinas Pariwisata.
I Gusti Ngurah Bagus
1991 "Hubungan Pariwisata dengan Budaya di Indonesia: Prospek dan Masalahnya", Makalah disampaikan pada Kongres Kebudayaan di Jakarta tahun!991.
Kanwil Deparsenibud Propinsi D.I. Aceh
1998 Sadar Wisata. Banda Aceh: Kanwil Deparsenibud Propinsi D.I. Aceh.
Mardiatmojo, BJ.
1991 "Wawasan Wisata", Kompas. 12 januari.
Naisbitt, John
1994 Global Paradox, ten. Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara.
Parikesit, Sambudjo
2005 “Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan Nasional”, Makalah pada Rakor dan Ratnit Pengembangan Pariwisata Prov. NAD tanggal 5-6 September 2005 di IAIN Ar-Raniry.
Pribadi, Jeliteng
2000 Sikap Masyarakat Iboih terhadap Program Pengembang-an Pariwisata dalam Rangka Pelaksanaan Kapet Sabang. Banda Aceh: PPISB Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.
R.M. Soedarsono
1991 "Secara Alami dan Kultural seharusnya Indonesia Mampu Menjadi Negara Wisata Nomor Satu di Asia Tenggara", dalam Ilmu-ilmu Humaniora, FS UGM Yogyakarta.
Sedyawati, Edi
1998 "Kebijakan Pengelolaan Budaya Sebagai Produk Unggulan Pariwisata", Makalah disampaikan pada Dies Natalis XXXV Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, 14 April.
Sppilans, James J.
1987 Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.
1994 Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Stale Ange Rye
2004 “The Dynamics of Low Budget Tourist Area The Case of Prawirotaman”, Asean Journal On Hospitality and Tourism Vol. 2 No. 1 Januari, Centre for Research on Tourism ITB Bandung.
No comments:
Post a Comment