Oleh: Agus Budi Wibowo
Berabad-abad yang lalu, Aceh adalah sebuah nanggroe yang sangat terkenal sampai manca negara. Keharuman, kemegahan, dan keberanian menjadi decak kagum apabila orang bicara tentang Aceh. Aceh yang terletak di ujung paling barat Pulau Sumatera merupakan sebuah wilayah yang sangat strategis bagi setiap bangsa di dunia. Di sini lah terpampang Selat Malaka yang menjadi jalur masuk menuju Samudra Atlantik dari Samudra Hindia. Siapa pun yang dapat mengusai jalur ini dapat memetik keuntungan yang beranekaragam, baik secara ekonomi, politik, pertahanan keamanan, maupun sosial dan budaya sehingga dapat dijadikan modal yang sangat strategis. Tidak heran, banyak bangsa-bangsa di dunia ingin mengusainya.
Letak yang begitu strategis membawa Aceh kepada perkembangan yang begitu maju. Berbagai bangsa hadir di daerah ini. Aceh menjadi daerah cosmopolitan. Posisi dan aktivitas ini memperlihatkan keterbukaan Aceh terhadap dunia luar sehingga tidak jarang ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa ACEH disebut sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Keterbukaan ini pulalah yang kemudian Aceh juga menjadi ikon bagi perkembangan Islam di Nusantara karena Aceh merupakan asal muasal Islam berada di wilayah ini. Selain mempengaruhi dalam lingkungan internal di luar Aceh, Islam juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat Aceh itu sendiri. Bagi ureueng Aceh, Islam telah mendarahdaging dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku, tutur kata, sikap, dijiwai oleh ajaran Islam. Agama dan adat menjadi pilar penting dalam penataan social “Adat bak Po Teumeurohom, hukom bak Syiah Kuala”. Pada bagian lain Aceh terkenal juga dengan keberaniannya dalam melawan setiap ketidakadilan, seperti dalam bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para imperialis dan kolonialis. Patriotisme orang Aceh banyak diakui, baik orang Indonesia sendiri maupun orang luar. Lihatlah bagaimana Belanda merasa kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Semua lapisan masyarakat Aceh bersatu padu mengusir Belanda dari bumi Iskandar Muda. Tidak mengherankan apabila kemudian Aceh sering disebut Tanah Rencong.
Nilai-nilai kolektif merupakan nilai-nilai yang juga dijunjung oleh orang Aceh. Fenomena minum di warung kopi, saling mengunjung, kenduri, upacara-upacara yang melibatkan banyak orang merupakan manifestasi sifat itu. Dalam kumpulan semacam itu sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh melalui berbagai kesenian. Seudati, Saman, Dabus, dan berbagai tarian Aceh menegaskan orientasi kolektif tersebut.
Di era abad 21 dunia makin berkembang dengan cepat. Lompatan peradaban dan kebudayaan tidak mungkin dapat dihindari oleh seluruh bangsa di dunia. Saling pengaruh antar budaya sudah menjadi hal biasa di era abad digital ini. Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya local ke dalam suatu tatanan global, yang kemudian dapat diikuti oleh proses menghilangnya batas-batas kebudayaan, yang oleh Arjun Appadurai (1991) sebagai “deteritorialisasi”.
Akibatnya, pada suatu saat nanti kita akan susah mencari budaya “asli” dari sebuah bangsa. Bahkan bukan suatu keniscayaan bahwa jati diri kita pun akan hilang karena nilai-nilai budaya luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan berekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuk sifat relative suatu praktik social.
Hal ini pun dialami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Ureueng Aceh pada khususnya. Nilai-nilai budaya yang telah mentradisi sedikit demi sedikit dirasuki oleh nilai-nilai budaya yang datangnya dari luar. Walaupun nilai-nilai budaya luar ada yang baik untuk kemajuan, tetapi tidak sedikit pula yang membawa kita pada hal-hal yang tidak baik. Mungkin suatu saat nanti, kalau kita tidak hati-hati bersikap; kita belajar berbagai tarian Aceh di luar negeri, kita kehilangan sifat komunalisme (tidak ada lagi sifat gotong royong), matinya bahasa ibu (bahasa Aceh), dan sebagainya.
Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam rangka tetap melestarikan budaya seperti dikatakan dalam narit maja Aceh yang menyebut “Matee aneuk meupat jeurat, Gadoh adat pat tamita” (Mati anak tahu makamnya, Hilang adat dimana dicari). Apa yang ditampilkan dan dipamerkan dalam event ini adalah wujud dari gambaran seutuhnya budaya Aceh yang dijunjung dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Romantisme tentang kebesaran dan kemegahan budaya Aceh yang selama ini dirasakan, semoga menjadi penggugah dan motivasi untuk terus ditumbuhkembangkan sehingga ureueng Aceh merasa tetap hardabeni (rasa memiliki) terhadap budayanya. Sebaik-baik atau sehebat-hebatnya budaya luar masih lebih baik budaya sendiri.
Bagaimanapun system refensi tradisional yang berasal dari budaya local harus diperkuat bukan untuk meredam pengaruh budaya global, tetapi lebih untuk memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan dengan budaya luar sebagai modal di dalam pengembangan budaya local. Budaya yang menyangkut substansi doktrin, nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam keberagaman merupakan “Culture modalities” yang menentukan bagaimana Aceh dengan perubahan-perubahannya dikonsepkan dan ditata. Pada saat pasar mengambil alih kekuasan, maka budaya beralih, yang dikhawatirkan tidak mampu lagi memberikan referensi bagi penataan social.
Namun demikian, kita juga tidak perlu takut dengan globalisasi. Jadikanlah globalisasi sebagai sebuah upaya memperkaya dan melengkapi kebudayaan local. Bahkan kehadiran budaya lain di tengah budaya local dapat menjadi unsure dinamisasi budaya local. Sesungguhnya permasalahan pokok terkait antara kebudayaan dan globalisasi itu bukan globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Untuk itu, upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah paa proses pembunuhan tradisi lah yang harus dilawan.
Pekan Kebudayaan Aceh dapat menjadi event wisata, event budaya, event nasionalisme, event mencerminkan sikap religius. Marwah Pekan Kebudayaan Aceh yang adiluhung tetap harus terjaga. Selain itu, menjadi momentum bagi dilakukannya upaya-upaya revitalisasi dan reaktualisasi budaya daerah yang akan memperkuat jati diri dan kearifan local ureueng Aceh.
No comments:
Post a Comment