Oleh: Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo
A. Pendahuluan
Masyarakat terasing Gunung Kong Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya bukanlah masyarakat terasing seperti yang digambarkan sebagai masyarakat terasing yang kita ketahui. Masyarakat terasing Gunung Kong merupakan sekelompok masyarakat yang masih tetap memelihara dan setia kepada tradisi miliki dan warisi secara turun temurun. Cikal bakal kelompok ini berasal dari T. Raja Tampok yang menolak kekuatan asing, pemerintah kolonial Belanda, yang menganeksasi Pantai Barat Aceh, terutama Seunagan pada awal abad ke-20.
Sejak akhir masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan T. Raja Tampok mampu merekrut dan memperbesar jumlah pengikutnya, baik orang Aceh maupun orang Gayo, untuk membentuk suatu komunitas ekslusif di pedalaman Krueng Tripa dan menutup diri dari pengaruh luar serta mengembangkan tradisi sendiri. Setelah T. Raja Tampok meninggal pada tahun 1962 kepemimpinan komunitas masyarakat ini diteruskan oleh anaknya T. Raja Ubit hingga tahun 1997.
Pada tahun 1978/1979 pemerintah daerah Aceh Barat dan Kanwil Departemen Sosial membangun pemukiman untuk mereka di Gunung Kong dalam upaya “membangun” komunitas ini agar lebih hidup “wajar” seperti masyarakat lainnya. Akan tetapi, kenyataan hanya sebagian saja di antara mereka yang beradaptasi dalam pemukiman baru dan sementara sebagian yang lain masih tetap bertahan dengan pola kehidupan yang eksklusif. Tulisan ini memaparkan salah satu aspek kehidupan dari masyarakat Gunung Kong tersebut.
B. Agama, Seni dan Nilai Budaya
Seperti masyarakat Aceh lainnya, komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pemeluk agama Islam. Hanya saja dalam pengamalan ajaran Islam terlihat lebih bersifat upacara dan bercampur baur dengan tradisi lokal. Ketika T.R. Tampok masih hidup, ia sendiri gemar melakukan pertapaan atau khalwat . Kurang diketahui apakah praktek khalwat yang ia amalkan itu sama seperti Tarekat Syatariah yang dikembangkan oleh Habib Muda 1899-1973 di Pulo Ie dan Peuleukong; Jeuram.1 Namun suatu hal yang jelas murid spritual T.R. Tampok yang pernah melakukan khalwat itu antara lain khatib Minim, Tgk. Blang Baro (Mak Diah), Tgk. Bileu Salam, Tgk. Suak, keuchik Uyam, Pang Ganto dan Pang Gumbak
Berbeda dengan orang tuanya, T.R. Ubit tidak meneruskan praktek khalwat atau menjalankan kehidupan zuhud. Ia lebih suka berganti-ganti istri di antara mana 2 telah meninggal dunia dan 3 orang minta cerai. Suatu hal yang jelas jumlah istrinya itu sudah melampui ketentuan syariat dalam Islam.
Pengajian agama dengan maksud mensosialisasikan ajaran Islam di kalangan komunitas itu hanya berlangsung secara teratur pada dasa warsa 1950-an dan 1960-an ketika komunitas itu berdiam di seuneubok Luar dan seuneubok dalam, Krueng Itam. Menurut informasi yang diperoleh pengajian agama dan pelaksanaan upacara agama waktu itu berada di tangan Tgk. Kali Hasan, khatib Munin, Tgk. Blang Baro dan Pang Ganto (Suhendang, 1990: 34 dan 49). sewaktu berada di seuneubok Alue Tgk. Suak, pelaksanaan ajaran agama berada di tangan Pang Meuse.
Kuburan Syekh Liwaul Hamdi (leluhur T.R. Tampok) yang terletak di Blang Tripa, kuburan T.R. tampak dan kuburan Cut Caya mereka percayai dihuni atau dijaga oleh harimau. Harimau tersebut, menurut mereka, tidak akan mengganggu seseorang yang berziarah ke situ jika dilakukan dengan niat bersih dan hati yang tulus. Kuburan tersebut juga menjadi salah satu objek melepas nazar di antara seseorang warga komunitas bersangkutan.
Di samping itu mereka percaya juga bahwa makhluk halus dalam wujud aulia, jin dan hantu berkeliaran dan bersemayam di berbagai tempat yang terdapat di sekitar mereka. Kesemua makhluk halus itu dapat memberi pertolongan dan juga malapetaka kepada manusia. Di lain pihak mereka juga percaya bahwa benda-benda tertentu seperti rante bui (cacing yang telah membatu didapati pada mulut babi) dapat memberikan kekuatan sakti kepada si pemakainya.
Kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong sebagian di antara mereka memperdalam pengetahuan ilmu gaib atau magis (euleume) dengan harapan yang bersangkutan mempunyai kemampuan magis. Mereka yang telah memiliki kemampuan magis itu dipercayai kebal dari senjata tajam dapat berubah rupa atau menghilang seketika, dapat mengobati sesuatu penyakit atau mengguna-gunai lawan dan musuh, serta mempunyai keahlian tertentu. Orang-orang seperti itu biasanya memperoleh kehormatan melalui panggilan pang (ksatria), dukun atau pawang. T.R. Tampok mereka percayai kebal dan dapat berubah rupa atau menghilang seketika. Para ksatria seperti Pang Bakar dan Pang Ganto mereka percayai kebal terhadap senjata tajam.
Di samping itu kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong mereka untuk mematuhi berbagai tabu atau pantangan. Hal demikian mereka lakukan baik di dalam rumah tangga seperti pantangan pada wanita hamil maupun sewaktu mencari rezeki (berburu, berladang dan menangkap ikan) atau sewaktu pergi memerangi musuh. Dalam mempersiapkan penyerangan terhadap tentara, mereka pergi bertapa di kuburan Habib Nagan terlebih dahulu.
Upacara ritual yang masih mereka lakukan adalah kenduri Maulid Nabi, Khitanan, Perkawinan, Kematian, Pembuatan rumah dan Kenduri Ladang. Penyelenggaraan upacara berlangsung sederhana di bawah pimpinan pemimpin spiritual mereka. Bentuk upacaranya adalah berdoa, bersaji dan memotong ayam.
Kesenian atau permainan yang paling digemari oleh komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pembacaan hikayat dan rapai. Pembacaan hikayat biasanya dilantunkan oleh pembaca hikayat yang mempunyai suara merdu. Hikayat yang paling populer di kalangan mereka umumnya berasal dari cerita-cerita lama seperti hikayat Tuan Ta Husin dan Hikayat Prang Sabil. Hikayat pertama berkenaan dengan peperangan yang berlangsung antara Jazid bin Muawiyah dengan Saidina Husin cucu Nabi yang berakhir gugurnya Saidina Husin.Hikayat kedua berisikan tentang pahala orang yang gugur dalam perang sabil melawan kafir. Hikayat-hikayat tersebut dengan sendirinya menanamkan kesadaran tentang imbalan yang diperoleh berjihad demi agama.
Dampak nyata peran hikayat dalam kehidupan mereka dapat diamati melalui nama putra-puti atau cucu dari T.R. Ubit. Nama-nama Gumbak Meuh, Meureudam Dewi, Tani Angsa, Sanadewa dan lain sebagainya adalah nama-nama aktor yang terdapat dalam cerita-cerita Hikayat Aceh Lama.
Rapai adalah permainan dabus yang dibarengi pertunjukan kekuatan magis dalam wujud kekebalan tubuh dari senjata tajam. Permainan ini diselenggarakan pada malam Jum'at atau bila ada seseorang warga komunitas menyelengarakan upacara khitanan atau perkawinan. Pemainnya terdiri atas 8-10 orang yang menabuhkan gendang (rapai) di bawah pimpinan seorang khalifah. Penabuh gendang memukul gendangnya sesuai dengan nada dan irama syair yang dilantunkan oleh khalifah. Sewaktu pukulan Rapai sedang bertalu-talu, para hadirin memasuki arena permainan untuk melakukan atraksi menikam diri, menyayat diri, membakar diri atau memukulkan benda keras kepada dirinya yang lagi berada dalam suasana ekstasi. Pendek kata permainan itu merupakan wahana uji ketangkasan dan kekebalan tubuh dari senjata tajam. Selama berada di Krueng Itam orang-orang yang pernah menjadi khalifah antara lain T. Hasan, Tgk. Lingga, Tgk. Salam dam K. Badai.
Dalam kehidupan sehari-hari komunitas terasing pengikut T.R. Tampok itu mengembangkan norma-norma atau kebiasaan yang harus ditaati oleh warganya. Hal tersebut terlihat jelas dalam hal busana, perhiasan, atau senjata. Setiap warga mereka, baik laki-laki maupun perempuan, berpakaian warna hitam dan tidak boleh memakai sandal atau sepatu. Kaum laki-laki memakai destar di kepala yang berfungsi sebagai topi, selimut, atau wadah pengangkut barang. Anak-anak kecil dicukur rambutnya dengan meninggalkan sedikit rambut seperti jambul di ubun-ubun (gumbak cudiek), sedangkan orang dewasa rambutnya dibiarkan panjang tanpa dipangkas. Tiap laki-laki yang telah remaja memakai senjata rencong dan pedang (beberapa orang di antara mereka senapan rampasan) sebagai ksatria.
Kebiasaan berpakaian atau berbusana seperti itu tetap dipelihara hingga akhir hayat T.R. Ubit. Pelanggarnya, jika diketahui, akan memperoleh hukuman keras dalam wujud makian, pukulan, dan malah ditetak oleh T.R. Ubit. Larangan atau pantangan memakai sandal atau sepatu dan topi malah juga diberlakukan oleh T.R. Tampok dan T.R. Ubit terhadap orang luar yang datang bertamu untuk menjumpai mereka.
Frekuensi kontak dengan dunia luar yang semakin meningkat sejak akhir dasa warsa tahun 1980-an menimbulkan dampak pula terhadap kelestarian adat di kalangan putra dan cucu T.R. Ubit. Kalangan anak laki-laki hanya mematuhi tata busana seperti yang telah ditetapkan bila sedang berhadapan dengan T.R. Ubit atau berada di seuneubok Alue Tgk Suak. Sebaliknya, bila berjalan-jalan ke Gunung Kong, pusat desa atau ke Pasar Alue Bilie mereka berpakaian seperti remaja atau anak muda lainnya. Pakaian pengganti itu biasanya dititipkan di rumah salah seorang kerabatnya di Blang Tripa.
Ketika T.R. Tampok masih hidup konon terdapat beberapa tata krama yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya. Seorang pengikut yang datang menghadap atau audiensi dengannya diharuskan memberi salam dengan cara mengangkat kedua tangan di atas kepala. Seseorang yang turun ke bawah rumah atau ke sungai tidak boleh mengucapkan "turun" (tron), melainkan "turun ke bawah" (jak ujueb atau jak ubaroh) karena perkataan "turun" mengandung makna turun berdamai dengan musuh.
C. Penutup
Gambaran yang dipaparkan pada bagian di atas menunjukkan bagaimana sesungguhnya salah satu aspek kehidupan masyarakat terasing Gunung Kong, yang masih mereka pegang sebagai tradisi yang tetap dilestarikan. Akan tetapi, frekuensi hubungan yang semakin sering dengan dunia luar telah membawa dampak pada bergesernya sebagian dari nilai-nilai yang mereka anut.
Tentunya kondisi ini merupakan suatu yang wajar dalam hubungan antarbudaya dimana antara satu budaya dengan budaya lain akan saling mempengaruhi. Akan tetapi, hendaknya perubahan itu jangan menghilangkan jati diri dari sebuah komunitas.
Daftar Pustaka
M. Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo. 1998. Aspek Historis Kultural Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, 1998: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Suhendang, Kustadi, et.al., 1990. Kehidupan Beragama di Kalangan Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, P3M IAIN Ar-Raniry.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
No comments:
Post a Comment