October 12, 2011

Bentuk Konstruksi Bangunan Rumoh Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

Umumnya rumoh Aceh dibangun di atas tiang-tiang setinggi 2,50 sampai lima (5,00) meter dari tanah. Rumoh Aceh rata-rata memiliki tiga ruang induk, yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Rumoh Aceh rata-rata dibangun dalam ukuran besar, sebab selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumoh Aceh juga berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan sosial, seperti musyawarah, kenduri, peresmian khitanan dan lain sebagainya. (Muhammad Z.Z., 1980 : 5)
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya rumoh Aceh dibangun tinggi di atas tiang-tiang , sehingga antara tanah ke lantai rata-rata mencapai dua sampai tiga meter. Kegunaan rumah tradisional dibuat tinggi karena zaman itu penduduknya masih jarang, sedangkan lingkungannya masih berhutan dan masih banyak binatang buas, seperti harimau, beruang, ular dan lain-lainnya. Jadi dengan konstruksi rumah yang tinggi itu diharapkan penghuninya dapat terlindung dari berbagai gangguan binatang buas bahkan aman dari bencana banjir.
Selain itu, ruangan antara tanah dan lantai rumah juga berfungsi untuk sarana penyimpanan berbagai alat pertanian, seperti cangkul, arit dan sebagainya. Bahkan ruangan di bawah lantai itu sering juga dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk tempat santai dan istirahat (Muhammad, 1980 : 72). Graff pernah menulis tentang keberadaan rumah Aceh yang dibangun dengan tiang-tiang tinggi sebagai berikut,
“… rumah-rumah dari alang-alang dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi empat atau bahkan sampai enam kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah karena pasang purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya” (Lombard, 1986: 61).
Lantai rumoh Aceh yang dibuat dari pohon nibung atau bambu yang dibelah kecil-kecil biasanya disusun tidak rapat. Ada juga lantai rumoh Aceh yang terbuat dari papan, namun celah pada lantai itu tetap ada. Jarak celah antara sebilah pohon nibung (bambu) dengan yang lainnya rata-rata mencapai satu centimeter. Celah-celah pada lantai itu berfungsi untuk mempermudah pembuangan kotoran pada waktu menyapu, sehingga rumah selalu kelihatan bersih dari kotoran dan debu.
Struktur atap rumoh Aceh memiliki ciri khas tersendiri. Lembaran atap yang telah diproses dari daun rumbia disusun dan diikat mulai dari bawah sebelah kiri sampai ke kanan atas. Atap disusun sangat rapat, di mana jarak antara tulang daun yang di bawah dengan tulang daun berikutnya rata-rata hanya 1,50 sampai 2,00 cm, sehingga atap rumoh adat tradisional Aceh kelihatan sangat tebal.

Susunan atap diikat dengan rotan panjang yang dibelah empat atau delapan mulai dari lembaran atap paling bawah sampai ke atas tanpa terpisah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara penyelamatan rumah dari bencana kebakaran, sebab apabila terjadi kebakaran, cukup hanya dengan memutuskan ikatan di atas, secara keseluruhan atap akan terseret jatuh ke bawah/tanah.
Selain itu, karena rumoh Aceh selalu dibangun tinggi dari atas tanah, maka rumah itu harus memiliki tangga. Tangga yang terdapat pada setiap rumoh Aceh umumnya memiliki jumlah anak tangga ganjil, yaitu antara tujuh sampai sembilan buah anak tangga. Ketentuan jumlah anak tangga ini berdasarkan kepercayaan orang Aceh bahwa setiap julah hitungan selalu ada hubungan dan pengaruhnya dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Jadi jika anak tangga dibuat ganjil antara tujuh sampai sembilan, maka anak tangga yang terakhir jatuh pada hitungan pertemuan dan langkah.
Hal ini menurut orang Aceh sangat berpengaruh dan menguntungkan dalam kehidupan. Sebaliknya, apabila anak tangga dibuat delapan akan berakhir pada maut. Hal ini yang tidak dikehendaki, karena menurut kepercayaan orang Aceh apabila jumlah anak tangga berakhir pada maut, maka penghuninya atau tamu yang menaiki anak tangga rumah itu akan selalu mendapat kecelakaan (Waardenburg, 1978: 130).
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tiang rumoh Aceh rata-rata berjumlah 16, 20, 24 dan ada yang sampai 28 buah tiang atau lebih, tergantung pada besar dan kecilnya rumah itu dibuat. Di antara sekian banyak jumlah tiang itu terdapat dua buah tiang utama yang dinamakan “Tiang Raja” dan “Tiang Putri” atau Tameh Putro (Hadjad, 1984: 72). Bentuk tiang-tiang itu ada yang bulat empat persegi dan ada pula yang delapan persegi. Tameh Raja dan Tameh Putroe biasanya berukuran dua kali lipat lebih besar dari pada tiang-tiang lainnya, yaitu dengan ukuran lingkar (keliling) sebesar 60 cm, sedangkan tiang-tiang yang lainnya hanya berukuran garis lingkar 30 cm.

Apabila kita menghadap ke depan rumah, maka akan kita dapati tiang raja letaknya di tengah sebelah kanan, sedangkan tiang putri di tengah sebelah kiri rumah tersebut. Jadi Tameh Putroe terletak persis di sebelah kiri Tameh Raja. Peletakan posisi tiang raja dan tiang putrid ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengungkapkan bahwa kaum hawa (wanita) berasal dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam (pria) (Husein, 1970 : 205). Jadi dengan adanya penempatan letak posisi Tameh Raja di sebelah kanan Tameh Putroe diharapkan dapat mempengaruhi suasana keharmonis-an hubungan suami-istri dalam rumah itu (Husein, 1970: 211)
Bantalan tiang dipasang pada posisi membujur dan melintang. Bantalan yang membujur disebut toi, sedangkan bantalan yang melintang disebut ruk. Kedua ujung bantalan yang membujur dipahat setengah sehingga seperduanya tinggal sebagai puting. Begitu juga dengan kedua ujung bantalan yang membujur, dipahat dengan ukuran sama seperti bantalan yang membujur. Kayu bantalan yang melintang dipasang di bawah bantalan yang membujur, dan biasanya diperkuat dengan menggunakan baji (bajoe), sehingga rumah itu dapat berdiri dengan kokoh dan kuat.
Di atas bantalan yang melintang dipasang lagi bantalan lantai yang disebut lhue. Lhue ini mempunyai jumlah tertentu pada setiap rumoh Aceh, dan selalu harus dalam jumlah ganjil. Pada ruang depan sebanyak sembilan buah, pada ruang tengah 11 buah dan ruang belakang sebanyak sembilan buah. Jumlah seluruhnya sebanyak 29 buah. Ketentuan jumlah lhue ini ternyata juga dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap adanya ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada masalah tangga (Waardenburg, 1978 : 137). Di atas lhue baru dipasang lantai yang terbuat dari pohon nibung (pinang) atau dari bambu yang diikat dengan ijuk/rotan yang dipintal rapi.
Pada sekeliling rumah terdapat dua keeping papan berukuran tebal dan lebar yang berfungsi untuk menutupi ruk, thoi dan lhue. Papan yang paling bawah disebut laeak dan di atasnya disebut kindang. Di atas tiang dipasang bara setebal 15 cm dan lebar 30 cm. Dari tulang bubungan (tampong) sampai ke atas bara diletakkan kasau yang dinamakan gaseue. Di bawah kasau terdapat kayu bulat sejajar dengan bara yang dinamakan geunulong. Fungsi geunulong ini untuk mengikat kasau agar menjadi sejajar dan rapi. Pada ujung kasau bagian bawah less palang dipasang miring ke dalam yang dinamakan neuduek gaseue. Sedangkan pada ujung sebelah Barat dan Timur rumah bagian atas (bubong) juga terdapat less plang yang berfungsi sebagai penahan atap dari terpaan angin kencang yang dinamakan peunimpi di daerah Aceh Besar.

Dari neuduek gaseue sampai ke puncak bubungan, yaitu di antara selang-selang kasau itu terbentang tali ijuk yang disebut taloe bawa. Tali ini terlipat dua dan kedua ujung sebelah bawah disatukan dan disimpul dengan sangat kuatnya, sehingga bentuknya persis seperti sebuah sanggul yang dinamakan bruek geutheun. Pada tali ijuk inilah diikat atap rumah tersebut, sehingga apabila terjadi bencana kebakaran, maka simpul ijuk yang berbentuk sanggul ini sajalah yang dipotong. Sebab dengan pemotongan sanggul ijuk itu atap akan turun dan jatuh ke bawah secara serentak.
Pada ujung timur dan barat sejajar dengan kuda-kuda terdapat sebuah penutup yang biasanya dilubangi yang dinamakan tulak angen (tolak angin). Tolak angin ini berfungsi untuk menetralisir hempasan angin kencang. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek gaseue) sampai ke bara dibuat bagasi yang berfungsi untuk menyimpan dan meletakkan barang-barang, seperti tikar dan bantal yang dinamakan sanding (Muhammad Z.Z. 1980 : 51).
Jendela rumoh Aceh umumnya dibuat dinding sebelah barat dan timur. Jendela ini merupakan jendela utama dari itu, artinya jendela ini berfungsi untuk menyambut udara bersih dan sinar matahari pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang dibuat pada dinding bagian utara dan selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam keseluruhan rumah termasuk ruang tengah. Sedangkan pintu utama (pintu depan) pada setiap rumoh Aceh hanya terdapat pada dinding kedua dari rumah itu, yaitu pada dinding tengah yang dinamakan pinto Aceh (Muhammad Z.Z, 1980 :63).
Tangga rumah tradisional Aceh di sebelah atau barat ke arah timur menghadap ke selatan dan utara. Mengenai jumlah anak tangga ini telah diuraikan pada bagian terdahulu dari bab ini. Tangga ini letaknya terlindung dari sinar matahari dan hujan, karena kalau cucuran atap yang sejajar dengan tangga memanjang ke bawah, sehingga dapat melindungi tangga dari hujan dan sinar matahari yang dapat mengakibatkan lapuk dan rusak. Atap pelindung tangga ini ditopang dengan dua buah tiang berbentuk segi empat (Hadjad, 1984 : 93). Bangunan pelindung tangga ini disebut ladang reuyeuen.

No comments: